Uklikinfo.com, Palopo – Indrayanti Sepyani R (31), salah seorang penderita HIV menceritakan kisah pilunya atas stigma yang didapatkannya saat diketahui terdiagnosis menderita HIV pada seminar kesehatan dengan tema ‘Perempuan dan HIV Aids’ di Auditorium Saokitae Palopo, Minggu 1 Desember 2019.
Kegiatan yang digagas oleh empat lembaga tersebut yaitu KOPRI PMII Kota Palopo, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIKes Kurnia Jaya Persada (KJP) Palopo, Program Studi Ners STIKES KJP dan Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia (PKVHI) kota Palopo dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Aids Sedunia.
Anti, nama panggilannya, tidak banyak menceritakan asal muasal ia terjangkit HIV, sepengetahuannya penyakit tersebut dia periksakan setelah suaminya (saat ini mantan suami) lebih dulu di diagnosis menderita HIV.
“Setelah suami saya sehat dan bisa kerja lagi, dia pergi tinggalkan kami (Anti dan anaknya) dan akhirnya kami berpisah sampai sekarang 4 tahun berlalu”. Terang Anti
Mengetahui suami menderita Aids, Anti pun memeriksakan dirinya, yang ternyata juga positif HIV. Ia bercerita bahwa diskriminasi pertama yang didapatkannya bukan dari orang lain, namun dari keluarganya.
“Pakaian dan makanan saya dipisahkan, saya dilarang menyentuh anak saya sendiri, ketika itu anak saya masih bayi dan yang satunya masih kecil. Bahkan orang tua saya bilang kalau saya harus di karantina”. Cerita Anti
Saat itu Anti berpikir untuk mengakhiri hidupnya. “Bahkan saya pernah berpikir untuk bunuh diri, karena saya tidak lagi boleh menyentuh anak kandung saya yang masih bayi”. Ucap Anti
Ia mengatakan bahwa penderitaan akibat penyakitnya sudah cukup menyiksa, ditambah lagi penderitaan akibat stigma dari keluarga dan lingkungan sosial.
“Dari tetangga-tetangga saya dijauhi karena informasi yang sudah menyebar. Informasinya tersebar awalnya dari layanan (petugas pelayanan kesehatan), maaf, tapi itulah faktanya”. Ungkap Anti
Di awal menderita Aids, Anti terkena herpes dan pnemonia utamanya pada paru-paru bagian kanannya.
“Berat badan saya saat itu turun drastis hingga 32 Kg. Dokter menyarankan untuk meminum obat TB selama 6 bulan, jadi wajar saja jika tetangga saya mengatakan bahwa tidak lama lagi saya akan meninggal. Apalagi HIV tidak ada obatnya”. Ucap Anti
Stigma yang menyebabkan deskriminasi terhadap dirinya tidak hanya itu, namun juga berdampak pada ekonominya. Anti yang sebelumnya bekerja sebagai guru pada salah satu TK di daerah Walenrang Timur kabupaten Luwu, tidak lagi dapat mengajar karena kompalin dari wali siswa.
“Orang tua siswa bilang tidak mau lagi menyekolahkan anaknya di TK kalau saya masih mengajar, dengan sangat kecewa dan sakit hati saya terdiam dan mengurung diri di kamar karena stigma yang begitu menyakitkan ditelinga saya. Dan pada saat itu juga saya berhenti mengajar di TK tersebut”. Terang Anti
Saat ini Anti merupakan Orang Dengan HIV AIds (Odha) yang jika diperiksa, dalam darahnya tidak lagi terdeteksi HIV (bukan sembuh). Ia mengatakan bahwa selama 6 tahun ia tertib dalam terapy Anti Retrivirus (ARV)
Ia juga tergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KSD) Support Palopo, di kelompok tersebut Ia belajar mengenai HIV/Aids sampai menjadi Odha mandiri dan melawan stigma yang ada.
“Akhirnya sekarang saya menjadi PS (Pendukung Sebaya) pada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan stay di Rumah Sakit Sawerigading Palopo. Di sana saya belajar untuk terus mendukung teman-teman odha yang lain”. Tutup Anti
Kegiatan seminar tersebut dibuka oleh Plt Kepala Dinas Kesehatan kota Palopo Ns Taufiq dan menjadi narasumber yaitu, Ketua PKVHI Kota Palopo Ns Asriadi M.Kep yang membahas tentang Stigma HIV Aids di Masyarakat, Ketua Prodi Ners STIKes KJP Palopo Ns Bestfy Anitasari M.Kep Sp.Mat dengan materi Perempuan dan Kerentanan terhadap HIV Aids dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) STIKes KJP Palopo Ns Lestari Lorna Lolo M.Kep yang membawa materi tentang Perawatan Pasien HIV Aids. (Dom).