Uklikinfo.com – Sering dijumpai saat gempa hingga beberapa waktu setelahnya keluhan pusing dan mual. Para ilmuwan menyebutnya phantom earthquakes atau jishin-yoi (Jepang).
Fenomena pusing dan mual sehabis gempa telah banyak dilaporkan antara lain ketika gempa 6,4 skala Richter mengguncang Kunamoto, Jepang, pada April 2016. Hingga beberapa bulan pasca kejadian, sebanyak 200 orang masih melaporkan mual dan gangguan keseimbangan, yang oleh para ahli disebut sebagai ‘post-earthquake dizziness syndrome’ (PEDS).
Ada beberapa teori yang menjelaskan fenomena ini. Pertama, keluhan mual dan pusing sehabis gempa terjadi dengan mekanisme serupa dengan mabuk perjalanan atau motion sickness. Saat guncangan terjadi, gerakan yang dialami tubuh dan yang teramati secara visual tidak sinkron sehingga muncul berbagai keluhan tidak nyaman.
Kedua, masih dengan keadaan yang sama, akibat guncangan. Pada tubuh terdapat sistem keseimbangan, Sistem ini dikenal juga sebagai sistem vestibularis. Telinga salah satu didalamnya.
Di telinga dalam terdapat bagian berbentuk semi lingkaran yang berisi cairan dan sensor yang menyerupai rambut-rambut halus, dikenal sebagai kanalis semisirkularis. Bagian inilah yang membantu menjaga keseimbangan.
Di bagian ujung lingkaran tersebut, terdapat organ bernama utrikulus dan sakulus. Keduanya memiliki sel-sel rambut sensorik. Jika dilihat lebih dalam, di sel-sel ini ada lagi bagian kecil bernama otokonia. Inilah partikel yang sangat berperan dalam keseimbangan.
Otokonia bekerja membantu memonitor posisi kepala saat beradaptasi dengan gravitasi. Saat posisi kepala tidak daat beradaptasi dengan gravitasi (guncangan) akibat gempa, maka akan timbul keluhan pusing yang dapat berlanjut pada keadaan mual.
Adanya otokonia ini juga memungkinkan Anda naik ke ketinggian atau turun ke kedalaman tertentu, seperti naik dan turun di dalam lift atau berada di dalam mobil yang sedang berjalan, dengan tetap stabil, seimbang, dan tidak pusing.
Teori lain yang menjelaskan fenomena ini adalah fobia terhadap gempa susulan. Bahkan ketika gempa susulan tidak benar-benar terjadi, tubuh mengantisipasinya dengan kepanikan.