Penulis : Haeril Al Fajri, Direktur Macca Indonesia Foundation – MIND
Uklikinfo.com, Opini | Ada tokoh dibalik tokoh!, Itulah yang saya maksud ‘orang belakang’. Biasanya orang belakang memegang dan mengatur kendali. Tokoh yang dimunculkan hanya sebagai bidak pertarungan. Selain karena faktor ketokohan ‘orang belakang’ biasanya memiliki kekuasaan dan financial.
Walau pun disebut ‘orang belakang’ pada umumnya masyarakat dapat mengetahui keberadaannya. ‘orang belakang’ bahkan tidak selalu duduk dibalik panggung mereka kadang lebih mendominasi dari tokoh yang dijadikan wayang.
Kenapa selalu ada ‘orang belakang’?, Pertama, karena mereka masih memiliki hasrat berkuasa. Kedua, Karena tokoh yang tampil kurang percaya diri dan butuh sokongan. Ketiga, karena alasan keberpihakan.
Stigma ‘orang belakang’ menyeruak pro kontra, dapat berefek positif dan dapat juga berefek negatif tergantung bagaimana dia memainkan ritme.
Pada kontestasi politik, ‘orang belakang’ dapat termaknai sebagai penyandang dana, kekuasaan, ataukah tokoh berpengaruh.
Bagaimana pengaruh ‘orang belakang’ pada konstalasi politik? Dapat membuat untung dan berpotensi membuat buntung!
‘orang belakang’ adalah bayang-bayang maka kita harus pemahaminya lebih dari memahmi bidaknya. Setelah bidak memenangkan pertarungan maka dapat dipastikan ‘orang belakang’ akan terus menjadi bayang-bayang.
Hal ini biasanya menjadi pemicu tidak harmonisnya hubungan bidak yang berhasil meraih kekuasaan. Karena setiap bidak memiliki ‘orang belakang’ dan setiap ‘orang belakang’ memiliki kepentingannya sendiri. Hal ini sudah terbukti pada banyak peristiwa perpecahan diberbagai level kekuasaan.
Saat ini memang sulit menemukan tokoh yang tidak ada ‘orang belakang’ dibaliknya hal tersebut akibat mengakarnya sistem oligarki di negeri ini.
Tokoh yang tidak memiliki ‘orang belakang’ akan terhempas dalam melawan konspirasi atau dipaksa terjerumus kedalam konspirasi.
Memang berat melawan arus ‘orang belakang’ tapi ini bukan hal mustahil ketika kita mampu menguatkan struktur sosial masyarakat.
Butuh keberanian untuk mendobrak kelaziman tersebut, bahwa yang pantas menjadi ‘orang belakang’ adalah rakyat bukan kekuasaan, ketokohan ataukah uang.
Pada akhirnya rakyat akan memahami bahwa mereka memiliki kuasa dan merekalah ‘orang belakang’ sesungguhnya.
Sehingga tidak ada lagi kalimat: Saya tahu siapa dibelakangnya!. (*)